Nasional

Kebijakan terbaru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang melarang penjualan gas elpiji 3 Kg di pengecer dan mengharuskan masyarakat untuk membeli langsung dari pangkalan menuai protes dan kecaman dari berbagai kalangan. Banyak masyarakat menganggap kebijakan ini justru menyengsarakan mereka, mengingat kesulitan yang dihadapi dalam mendapatkan gas bersubsidi tersebut. Antrean panjang untuk mendapatkan gas elpiji 3 Kg terlihat di banyak lokasi, dan kondisi ini membuat masyarakat merasa frustrasi. Pelarangan penjualan di pengecer dipandang sebagai langkah yang bagus dalam menjamin distribusi subsidi tepat sasaran. Namun, kenyataannya, aksesibilitas masyarakat terhadap gas melon ini semakin sulit. Dalam berbagai platform media sosial, masyarakat ramai mencemuh keputusan pemerintah tersebut. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berusaha menjelaskan kebijakan ini. Ia menegaskan bahwa tidak ada pembatasan kuota atau pemangkasan subsidi, melainkan terjadinya masa transisi yang harus dilalui masyarakat. "Ini kan menyebabkan perubahan kebiasaan di masyarakat saja, yang tadinya beli di pengecer jadi di pangkalan," ungkap Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta. Masyarakat yang terbiasa membeli gas dari pengecer kini harus beradaptasi dengan proses pembelian yang baru. Salah satu alasan pemerintah memberlakukan kebijakan ini adalah untuk memastikan bahwa subsidi yang diberikan tepat sasaran dan untuk memberikan kesempatan kepada pengecer yang selama ini menjual gas elpiji 3 Kg untuk mendaftar menjadi pangkalan resmi. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antara harga jual di pangkalan dan pengecer. Namun, meskipun pemerintah telah menjelaskan niat baik di balik kebijakan tersebut, faktanya adalah masyarakat tetap menghadapi kesulitan. Berikut adalah beberapa masalah yang muncul akibat kebijakan ini: Antrean Panjang: Masyarakat harus rela mengantri lama untuk mendapatkan gas elpiji 3 Kg di pangkalan resmi, yang dapat menghabiskan waktu berjam-jam. Ketersediaan Terbatas: Beberapa pangkalan sering kali kehabisan stok, sehingga membuat masyarakat yang membutuhkan gas harus berpindah-pindah lokasi pencarian. Harga yang Berbeda: Meskipun pembelian dilakukan di pangkalan resmi, harga gas belum tentu lebih murah dari sebelumnya, mengingat ada biaya tambahan yang mungkin muncul. Perubahan Kebiasaan: Perubahan sistem beli dari pengecer ke pangkalan mengakibatkan kebingungan di masyarakat, yang tidak terbiasa dengan sistem baru ini. Kepatuhan Terhadap Aturan: Beberapa pelaku usaha kecil dan masyarakat merasa tertekan dengan peraturan baru, sehingga merasa tidak bebas dalam bertransaksi. Bahlil mengungkapkan harapannya agar masyarakat dapat bersabar selama masa transisi ini. Ia juga menyatakan bahwa pemerintah sedang mencari formula terbaik untuk memastikan distribusi gas bersubsidi tercapai tanpa merugikan pihak manapun. "Kita cari formulasilah, ini diberikan kepada Saudara-Saudara kita yang berhak, UMKM dapat," jelasnya. Meski niat pemerintah untuk menyusun sistem distribusi yang lebih baik dipahami, namun realitanya di lapangan sering kali berbenturan dengan kebutuhan mendesak masyarakat. Dalam konteks ini, bukan hanya kesulitan fisik dalam mendapatkan gas yang menjadi masalah, tetapi juga dampak ekonomi yang menyertainya. Harga jual yang lebih tinggi dari pedagang pengecer telah menjadi sorotan karena mempengaruhi daya beli masyarakat. Sebagai informasi, harga gas elpiji 3 Kg yang dijual di pasaran oleh pengecer bisa mencapai Rp 4.000 hingga Rp 5.000 per tabung, jauh di atas harga resmi yang diatur pemerintah melalui subsidi. Sehingga, sambil menunggu adanya penyelesaian dari pemerintah mengenai kebijakan ini, masyarakat harus terus berjuang untuk mendapatkan gas yang menjadi kebutuhan pokok di rumah tangga mereka.