
Bank Indonesia baru-baru ini mengumumkan bahwa likuiditas perekonomian, atau uang beredar dalam arti luas, telah meningkat 5,7% secara tahunan, mencatat angka Rp9.239,9 triliun pada Februari 2025. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah lonjakan ini benar-benar mencerminkan pemulihan daya beli masyarakat, atau justru sebaliknya.
Piter Abdullah Redjalam, Direktur Eksekutif Segara Institute, menjelaskan bahwa peningkatan uang beredar tidak selalu berbanding lurus dengan daya beli masyarakat. “Peningkatan jumlah uang beredar tidak menggambarkan kondisi di masyarakat bawah yang sesungguhnya mengalami penurunan daya beli karena adanya PHK dan lain-lain,” ungkapnya. Menurutnya, angka tersebut mencakup semua kelompok masyarakat, sehingga tidak memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi keuangan masyarakat kelas menengah ke bawah yang lebih rentan terhadap penurunan daya beli.
Bank Indonesia mencatat bahwa uang beredar, yang diukur dengan komponen M2, mengalami kenaikan sekitar Rp41,5 triliun dari bulan sebelumnya, yang berarti dari Rp9.198,4 triliun menjadi Rp9.239,9 triliun. Kenaikan ini didorong oleh pertumbuhan uang beredar sempit (M1) sebesar 7,4% tahun ke tahun dan uang kuasi sebesar 1,8%. Meskipun ada peningkatan ini, banyak ekonom yang menganggap bahwa pertumbuhan ini bersifat musiman.
Hal ini diperkuat oleh pandangan Josua Pardede, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Ia menuturkan bahwa meskipun ada indikasi pertumbuhan aktivitas ekonomi menjelang Ramadan, sebagian besar peningkatan likuiditas tetap tersimpan di perbankan, dan belum sepenuhnya terdistribusi ke sektor riil. “Artinya, walaupun ada potensi peningkatan konsumsi, sebagian besar peningkatan likuiditas masih tersimpan di sistem perbankan,” katanya.
Peningkatan uang beredar sering kali dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat menjelang bulan suci, terutama berkenaan dengan kebutuhan konsumsi rumah tangga, penyaluran Tunjangan Hari Raya (THR), dan peningkatan transaksi sektor perdagangan. Namun, jika ditilik lebih dalam, sebagian besar pertumbuhan ini didorong oleh komponen uang kuasi, seperti tabungan dan deposito, yang menunjukkan bahwa masyarakat lebih memilih menyimpan dananya, alih-alih mengeluarkannya untuk konsumsi.
Sementara itu, kondisi daya beli yang lesu, meskipun terjadi peningkatan uang beredar, menjadi isu utama. Inflasi yang terus melanda dan situasi ketidakpastian ekonomi menyebabkan masyarakat harus lebih berhati-hati dalam mengatur pengeluaran. Pitar Abdullah menekankan bahwa meskipun ada peningkatan uang beredar, ini tidak menjamin adanya kekuatan dalam konsumsi masyarakat. “Kondisi ini tampaknya akan berlanjut, terutama menjelang Lebaran, di mana prediksi perputaran uang diperkirakan lebih rendah dibanding tahun lalu,” tambahnya.
Untuk mengevaluasi apakah tren pertumbuhan M2 yang positif ini akan berlanjut, perlu untuk mempertimbangkan beberapa faktor kunci seperti inflasi, penyaluran kredit, dan pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama 2025. Josua menambahkan bahwa jika faktor-faktor ini menunjukkan perbaikan yang konsisten, maka pertumbuhan M2 dapat mencerminkan pemulihan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, dapat disimpulkan bahwa meskipun peningkatan uang beredar membawa harapan akan pemulihan ekonomi, tantangan yang dihadapi oleh daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah, tetap menjadi masalah serius yang harus diperhatikan. Fitur-fitur musiman menjelang Ramadan bisa jadi memberikan angin segar, tetapi untuk jangka panjang, perbaikan struktural dalam daya beli dan pemulihan ekonomi yang lebih komprehensif masih diperlukan agar masyarakat benar-benar merasakan manfaat dari peningkatan likuiditas ini.