Dalam sejarah kedokteran, praktik amputasi telah mengalami transformasi yang signifikan sepanjang tahun-tahun, khususnya selama periode Renaissance di Eropa. Pada abad ke-16 dan ke-17, pendekatan terhadap amputasi mulai berubah secara drastis. Dari semula dianggap sebagai pilihan akhir akibat risiko tinggi kematian, kini anggota badan yang terpaksa harus diamputasi dilihat sebagai kesempatan untuk membentuk kembali tubuh manusia, berkat kehadiran prostesis yang semakin canggih.
Penting untuk memahami konteks sejarah di balik perubahan ini. Selama Perang Saudara Amerika, amputasi menjadi operasi yang paling umum, dengan sekitar 60.000 prosedur dilakukan dalam waktu singkat, sering kali hanya dalam hitungan menit per anggota badan. Namun, benih-benih pemikiran baru mengenai amputasi dan penggunaan prostesis sebenarnya telah ditanam jauh sebelumnya, di Eropa, khususnya pada abad ke-16 dan ke-17. Dalam periode ini, sikap masyarakat terhadap intervensi bedah dan penggunaan teknologi pada tubuh manusia mulai berubah.
Perubaan ini juga didorong oleh dua perkembangan besar: munculnya peperangan dengan senjata api dan penemuan mesin cetak. Pertempuran dengan senjata api menimbulkan luka serius yang sering kali membutuhkan amputasi cepat untuk menyelamatkan nyawa pasien. Luka-luka tersebut sering kali disertai dengan infeksi dan gangren, yang membuat waktu sangat berharga bagi para ahli bedah. Sementara itu, penemuan mesin cetak menjadikan para ahli bedah dapat mendokumentasikan dan menyebarkan teknik-teknik baru yang mereka kembangkan, bahkan dalam situasi yang sangat berbahaya tanpa anestesi atau teknik sterilisasi yang modern.
Selama proses ini, para ahli bedah mulai mendiskusikan dengan lebih terbuka tentang metode amputasi, berupaya mendesain cara terbaik untuk melakukan tindakan ini tanpa mengorbankan lebih banyak jaringan sehat. Dalam beberapa hal, mereka mulai filosofis berpikir tentang bagaimana amputasi seharusnya tidak hanya untuk menyelamatkan nyawa, tetapi juga untuk memfasilitasi penggunaan prostesis yang lebih efisien dan fungsional.
Bersamaan dengan itu, terciptalah sebuah industri baru yang memproduksi prostesis, mulai dari peg kayu yang sederhana hingga tangan besi yang kompleks. Hasil kerja sama antara amputee dan pengrajin lokal menciptakan inovasi yang signifikan dalam teknologi prostesis. Tangan besi yang diciptakan pada zaman ini memiliki fitur yang mampu menunjukkan gerakan individu dan dapat dioperasikan dengan cara yang mengingatkan kita pada prostesis modern saat ini.
Penting untuk dicatat bahwa prostesis tidak hanya diperuntukkan bagi para prajurit atau kelas elit. Penelitian menunjukkan bahwa sejumlah besar prostesis mungkin digunakan oleh masyarakat biasa, yang menggunakan kreasi ini sebagai pernyataan identitas dan untuk mengatasi stereotip negatif tentang cacat fisik. Ironi, banyak dari prostesis ini menyiratkan bahwa pemiliknya bukan hanya orang-orang yang berjuang, tetapi juga individu yang memiliki kreativitas tinggi dan ketahanan luar biasa.
Sementara penemuan tangan besi dan prostesis lainnya tidak langsung menjadi praktik medis yang umum seperti yang kita lihat sekarang, mereka merupakan langkah awal yang signifikan menuju pengakuan bahwa tubuh manusia adalah sesuatu yang tidak hanya dapat dilindungi, tetapi juga dibentuk dan diubah. Proses baik itu memerlukan kolaborasi antara ahli bedah, amputee, dan pengrajin yang menciptakan prostesis—suatu usaha kolektif dalam meremajakan dan mengkonseptualisasikan kembali tubuh manusia pada masa itu.
Hal ini menunjukkan bahwa perjalanan menuju kedokteran modern tidaklah semata-mata berasal dari inovasi teknis dan dasar ilmiah, tetapi juga melibatkan perubahan mendalam dalam cara berpikir masyarakat mengenai tubuh manusia sendiri. Dengan demikian, kita dapat melihat bagaimana ide dasar bahwa manusia dapat dan seharusnya mengubah tubuh mereka dengan cara yang invasif dan sulit memiliki akar yang jauh lebih dalam daripada yang sering kita sadari.
