Siapa Dalang di Balik Krisis DR Kongo? Temukan Faktanya!

Di tengah konflik berkepanjangan yang melanda Republik Demokratik Kongo (DRC), pertanyaan besar muncul: siapa sebenarnya yang menarik tali di balik krisis ini? Sejak M23, kelompok pemberontak, merebut sejumlah besar wilayah di timur DRC yang kaya mineral, situasi kemanusiaan dan diplomatik menjadi semakin genting.

Wilayah yang terlibat dalam konflik ini memiliki sejarah intervensi luar yang panjang, dan saat ini, beberapa negara Afrika lainnya telah mengerahkan pasukannya ke dalam zona konflik ini. DRC, yang memiliki luas dua pertiga dari Eropa Barat, menjadi bagian dari kedua blok regional, yaitu Afrika Timur dan Selatan. Dalam upaya untuk mengatasi situasi ini, kedua kelompok regional berencana mengadakan pertemuan darurat untuk membahas langkah-langkah lanjut.

Konflik ini melibatkan beberapa tokoh kunci dengan agenda yang berbeda-beda:

  1. Félix Tshisekedi – Presiden DRC: Tshisekedi bertujuan untuk merebut kembali wilayah yang hilang, termasuk kota besar Goma, dan mencegah M23 untuk melanjutkan serangan. Ia mengutuk pemimpin Rwanda, Paul Kagame, atas tuduhan dukungan militer kepada M23, termasuk senjata dan pasukan. Tshisekedi juga khawatir bahwa ketidakstabilan ini dapat memengaruhi kekuasaannya, karena ada ancaman terhadap posisinya akibat dorongan dari oposisi internal yang mungkin bangkit.

  2. Paul Kagame – Presiden Rwanda: Kagame telah terbiasa dengan sorotan di panggung internasional, khususnya terkait dengan intervensi militer Rwanda sejak genosida 1994. Meskipun ia membantah mendukung M23, Rwanda mengklaim tindakan militernya bertujuan untuk melawan kelompok bersenjata yang diyakininya berpotensi mengancam keamanan negaranya. Kigali juga menuntut agar DRC bernegosiasi langsung dengan M23, sebuah permintaan yang ditolak oleh Tshisekedi.

  3. Burundi – Tetangga yang Waspada: Dengan ribuan tentara yang telah dikerahkan untuk memburu pemberontak di DRC, Presiden Burundi Evariste Ndayishimiye memperingatkan tentang potensi konflik yang mungkin meluas ke negaranya jika M23 terus beroperasi. Burundi berusaha untuk menjaga stabilitas internal dan merespons ancaman yang muncul dari Rwanda yang berambisi memperluas pengaruhnya di kawasan timur DRC.

  4. Uganda – Memainkan Kedua Sisi: Uganda tidak secara langsung terlibat dalam konflik, tetapi mengerahkan pasukan untuk menangani ancaman dari militan terkait ISIS. Namun, ada laporan yang menunjukkan bahwa Uganda mungkin memberikan dukungan terselubung kepada M23, menciptakan ketidakpastian di antara aktor regional lainnya.

  5. Afrika Selatan – Penjaga Perdamaian yang Memihak: Dengan mengirimkan sebagian besar pasukannya untuk berjuang di sisi angkatan bersenjata DRC, Afrika Selatan mengalami kerugian yang signifikan. Ketegangan meningkat antara Pretoria dan Kigali setelah terjadi serangan yang mengarah pada kematian tentara mereka, menunjukkan bahwa perpecahan di dalam serta antar blok regional semakin dalam.

Di tengah kompleksitas ini, banyak pihak mempertanyakan apakah intervensi luar ini sebenarnya membantu atau justru memperburuk situasi di DRC. Ada kekhawatiran bahwa jika ketegangan terus meningkat, mungkin akan terjadi eskalasi yang melibatkan lebih banyak negara, mengenang kembali dua perang besar yang melanda kawasan ini di akhir 1990-an.

Tindakan negara-negara regional, baik dalam bentuk dukungan terhadap pemerintah DRC maupun dalam mendukung kelompok pemberontak, menunjukkan bagaimana kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan saling terkait dan berpotensi memicu konflik yang lebih luas. Masing-masing negara, dengan ambisi dan kepentingan mereka sendiri, memainkan peran dalam menavigasi kerumitan yang mendalam di dalam krisis DRC.

Exit mobile version