Aliansi kelompok pemberontak di Republik Demokratik Kongo (DR Congo) telah mengumumkan gencatan senjata kemanusiaan yang mulai berlaku pada Selasa. Pernyataan tersebut disampaikan oleh kelompok yang terdiri dari berbagai faksi, termasuk pemberontak M23 yang didukung Rwanda. Mereka menyebutkan “alasan kemanusiaan” sebagai dasar dari keputusan ini, menyusul serangkaian serangan yang telah menyebabkan pengambilalihan wilayah di bagian timur negara tersebut.
Menurut laporan PBB, sedikitnya 900 orang telah tewas dan 2.880 lainnya mengalami cedera akibat pertempuran yang terjadi baru-baru ini di dan sekitar Goma, kota terbesar di bagian timur DR Congo. Setelah Goma direbut oleh pemberontak, situasi menjadi semakin memburuk, dengan ratusan ribu orang mengungsi dalam tiga tahun terakhir. Statistik dari badan pengungsi PBB menunjukkan bahwa lebih dari 400.000 orang telah dipaksa meninggalkan rumah mereka sejak awal tahun 2025.
Dalam pernyataannya, aliansi yang dikenal sebagai Konglomerat Sungai Kongo tersebut menuduh militer Kongo melakukan serangan terhadap warga sipil dengan menggunakan pesawat untuk membombardir daerah-daerah yang mereka kuasai. Mereka menegaskan bahwa tidak ada niatan untuk merebut wilayah lebih lanjut, meskipun sebelumnya mereka mengatakan sebaliknya. “Kami menegaskan komitmen kami untuk melindungi dan mempertahankan populasi sipil serta posisi kami,” ungkap mereka.
Reaksi internasional juga cukup signifikan terhadap kondisi yang terjadi di DR Congo. Negara-negara G7 dan Uni Eropa mengecam ofensif pemberontak sebagai pelanggaran nyata terhadap kedaulatan DR Congo. Menteri Komunikasi Kongo, Patrick Muyaya, mendesak agar komunitas internasional memberlakukan sanksi terhadap Rwanda. “Keputusan tegas harus diambil, tidak hanya untuk mengutuk, tetapi juga untuk menghentikan apa yang dilakukan Rwanda, karena hal ini tidak dapat diterima jika ingin menjaga perdamaian di Afrika dan di wilayah kami,” katanya kepada Reuters.
Di sisi lain, Presiden Rwanda, Paul Kagame, yang juga merupakan panglima Angkatan Bersenjata Rwanda, menyatakan bahwa ia tidak mengetahui apakah pasukan negerinya berada di DR Congo. “Ada banyak hal yang saya tidak tahu. Namun, jika Anda bertanya kepada saya, apakah ada masalah di Kongo yang menyangkut Rwanda, dan bahwa Rwanda akan melakukan apapun untuk melindungi dirinya? Saya akan mengatakan 100%,” ujarnya kepada CNN.
Dalam konteks yang lebih luas, pertempuran di wilayah tersebut telah mengakibatkan perpindahan penduduk dalam jumlah besar. Selain itu, ada seruan dari kelompok hak asasi manusia untuk mempertegas tekanan terhadap Rwanda agar menarik diri dari keterlibatannya di konflik Kongo. Ini menunjukkan kompleksitas situasi di lapangan, di mana berbagai kepentingan politik dan kemanusiaan beradu.
Kondisi di DR Congo menjelang konferensi perdamaian regional yang akan diadakan di Tanzania menunjukkan harapan tetapi juga kehati-hatian. Para kepala negara Kongo dan Rwanda dijadwalkan hadir di pertemuan tersebut pada hari Jumat. Dengan pengalaman konflik yang telah berlangsung selama 30 tahun, diharapkan bahwa negosiasi yang diadakan kali ini tidak akan terganggu, meskipun sejarah menunjukkan bahwa pembicaraan sebelumnya sering kali gagal.
Sebagaimana terungkap dalam berbagai laporan, penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia menjadi isu penting bagi semua pihak yang terlibat. Langkah-langkah yang diambil di tingkat internasional dan regional akan sangat menentukan masa depan stabilitas di DR Congo, terutama dalam konteks kemanusiaan yang semakin mendesak.