Premi Asuransi Kesehatan Melonjak jika Skema CoB Wajib?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah merancang Surat Edaran tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Salah satu poin penting dari rancangan tersebut adalah mengenakan kewajiban bagi produk asuransi kesehatan untuk memuat fitur koordinasi manfaat atau Coordination on Benefit (CoB). Hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat dan pelaku industri tentang dampaknya terhadap premi asuransi kesehatan di masa depan.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Cipto Hartono menyatakan bahwa OJK kemungkinan besar tidak akan mengubah ketentuan yang mengharuskan produk asuransi kesehatan untuk menyertakan fitur CoB. Cipto menyampaikan, "Dalam RSEOJK yang akan segera diterbitkan tampaknya akan ada ketentuan yang mengatur bahwa produk asuransi kesehatan wajib memiliki fitur koordinasi manfaat dengan BPJS Kesehatan."

Skema CoB ini mengatur pembagian beban biaya klaim antara asuransi swasta dan BPJS Kesehatan, di mana perusahaan asuransi swasta akan menanggung proporsi yang lebih besar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah hal ini akan berujung pada kenaikan premi asuransi kesehatan?

Cipto menjelaskan bahwa pada dasarnya, perkembangan premi asuransi kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor, bukan hanya oleh penerapan skema CoB. "Terkait dampaknya terhadap premi, pada dasarnya bisnis akan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Premi asuransi kesehatan tidak hanya ditentukan oleh skema CoB, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain," jelasnya.

Beberapa faktor yang memengaruhi harga premi asuransi kesehatan antara lain:

  1. Riwayat Klaim Tertanggung: Data historis klaim dari pemegang polis menjadi acuan utama dalam penentuan tarif premi.
  2. Inflasi Biaya Medis: Kenaikan biaya perawatan medis setiap tahunnya juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi tarif premi.
  3. Struktur Manfaat dalam Polis: Ruang lingkup manfaat yang ditawarkan serta batas maksimum pertanggungan mempengaruhi harga premi yang ditawarkan.

Meskipun penerapan skema CoB terjadi, Cipto menegaskan bahwa perusahaan asuransi masih memiliki fleksibilitas dalam menentukan harga dan manfaat produk, berdasarkan faktor risiko yang ada. "Meskipun terdapat skema CoB, tidak serta-merta premi asuransi kesehatan menjadi lebih murah atau mahal," imbuhnya.

Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Fauzi Arfan, Ketua Bidang Produk, Manajemen Risiko, GCG Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI). Dia memperingatkan bahwa jika skema CoB memaksa asuransi swasta untuk menanggung biaya lebih besar, dapat dipastikan bahwa harga polis kesehatan cenderung akan meningkat. "Jika skema CoB mengharuskan asuransi swasta menanggung selisih biaya yang lebih besar, maka ada potensi premi produk dengan fitur CoB menjadi lebih tinggi dibandingkan produk yang tidak mengadopsi mekanisme ini," ujarnya.

Fauzi juga menekankan pentingnya evaluasi berkelanjutan terhadap skema pembagian beban antara asuransi swasta dan BPJS Kesehatan, mengingat dinamika biaya kesehatan yang cenderung berubah. Hal ini penting agar perusahaan asuransi dapat menyesuaikan produk mereka dengan kebutuhan pasar dan kondisi ekonomi yang ada.

Dalam konteks ini, pengawasan dari OJK juga menjadi faktor kunci untuk memastikan bahwa penyesuaian biaya premi tidak merugikan nasabah. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan industri asuransi kesehatan dapat tetap berkelanjutan dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan perlindungan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas.

Dengan berbagai faktor yang memengaruhi premi asuransi kesehatan, masyarakat perlu tetap waspada dan peka terhadap perubahan yang ada. Ketentuan baru dari OJK mengenai skema CoB ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan manfaat bagi para pemegang polis, meskipun ada potensi perubahan dalam biaya yang harus ditanggung.

Berita Terkait

Back to top button