
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi, memberikan tanggapan kritis terhadap kebijakan efisiensi anggaran yang berlaku di tingkat pemerintahan daerah. Menurut Dodi, jika kebijakan ini berlanjut, dapat menyebabkan risiko signifikan bagi keberlangsungan usaha hotel, termasuk potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi karyawan hotel.
Dodi mengungkapkan bahwa industri perhotelan sangat bergantung pada kegiatan pemerintah, terutama dalam sektor meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE). Kegiatan pemerintah seperti rapat, diskusi, dan seminar merupakan sumber pemasukan utama bagi banyak hotel. Ia menyebutkan bahwa tingkat okupansi di sektor MICE saat ini berkisar antara 4 hingga 50 persen, dan penurunan lebih lanjut bisa mengakibatkan kerugian yang lebih besar. “Apabila sektor MICE berkurang, maka dampak langsungnya adalah penurunan okupansi dan pendapatan hotel,” papar Dodi.
Lebih lanjut, Dodi menyoroti bahwa tidak semua hotel mampu bertahan tanpa kontribusi dari wisatawan. Hotel yang berlokasi di kawasan strategis seperti Jalan Braga mungkin masih bisa bertahan, tetapi banyak hotel lainnya tidak akan mampu melakukannya tanpa bantuan dari kegiatan pemerintah. “Kalau berlanjut terus, bisa dipastikan sebagian karyawan akan dirumahkan,” tegasnya.
Dodi juga mencatat bahwa kebijakan efisiensi anggaran ini belum pernah dikoordinasikan secara resmi dengan PHRI. Hal ini menciptakan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, karena kebijakan tersebut diambil berdasarkan instruksi dari pemerintah pusat tanpa melibatkan masukan dari pihak terkait di industri perhotelan. Dodi dan rekan-rekannya di PHRI telah menyampaikan keberatan atas kebijakan ini kepada pejabat yang berwenang, namun komunikasi tersebut masih bersifat informal.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, Darwis Sitorus, turut memperkirakan bahwa sektor hotel dan restoran akan merasakan dampak signifikan dari kebijakan efisiensi anggaran tersebut. Ia menyatakan bahwa sektor ini selama ini banyak bergantung pada kegiatan pemerintah, dan pembatasan kegiatan seperti seminar dan focus group discussion (FGD) akan mengurangi pendapatan mereka. “Efisiensi anggaran tidak hanya menyentuh perjalanan dinas, tetapi juga kegiatan-kegiatan lain yang biasa dilakukan di hotel,” ujarnya.
Adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 sebagai pedoman mengenai efisiensi anggaran dikeluarkan untuk meminimalkan pembelanjaan pada kegiatan seremonial, kajian, studi banding, publikasi, seminar, serta mengurangi belanja perjalanan dinas hingga 50 persen. Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga stabilitas fiskal, namun sulitnya situasi ini dihadapi oleh sektor perhotelan.
Serangkaian kebijakan tersebut, meskipun dirasa perlu dalam konteks pengelolaan anggaran, memperoleh kritik di kalangan pelaku industri yang merasa terjepit oleh keterbatasan ini. Dodi menyatakan, “Kebijakan ini bisa mengancam PAD (Pendapatan Asli Daerah) kota dan kabupaten, yang pastinya akan berimbas pada sektor-sektor lain.”
Ketidakpastian ini menciptakan suasana cemas di kalangan karyawan hotel, di mana banyak yang khawatir tentang keberlangsungan pekerjaan mereka. Apabila kondisi ini tidak segera diatasi dan dialog konstruktif tak kunjung terlaksana antara pemerintah dan pelaku industri, potensi kerugian yang lebih besar bagi sektor perhotelan akan menjadi kenyataan.
Semua pihak harus memikirkan solution-oriented untuk menjaga keberlangsungan industri perhotelan sambil tetap menghormati kebijakan pemerintah dalam efisiensi anggaran. Dialog dan kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta menjadi kunci untuk mencapai keseimbangan yang saling menguntungkan.