Pada tahun 1856, seorang ilmuwan wanita asal Amerika Serikat bernama Eunice Foote menorehkan catatan penting mengenai perubahan iklim yang relevan hingga saat ini. Dalam makalahnya yang singkat, Foote menjelaskan betapa kuatnya gas karbon dioksida dalam menyerap panas, yang menjadi penyebab utama pemanasan global. Penemuan ini merupakan tonggak awal pemahaman ilmiah terkait dampak aktivitas manusia terhadap iklim, jauh sebelum perdebatan politik mengenai perubahan iklim menjadi fokus global.
Eksperimen sederhana yang dilakukan Foote melibatkan dua silinder kaca yang diisi dengan gas karbon dioksida pada salah satu silinder dan udara di silinder lainnya. Ketika kedua silinder tersebut terkena sinar matahari, silinder berisi karbon dioksida menunjukkan kenaikan suhu yang jauh lebih tinggi dibanding silinder yang berisi udara biasa. Dari sini, Foote menyimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer akan berkontribusi pada peningkatan suhu bumi. Ia menuliskan, “… jika udara tercampur dengan proporsi karbon dioksida yang lebih tinggi dibanding saat ini, suhu yang lebih tinggi akan terjadi.”
Penemuan Foote ini kemudian diakui oleh ilmuwan terkenal lainnya, seperti John Tyndall dari Irlandia, yang turut melakukan eksperimen dan menyatakan kebingungannya bagaimana sesuatu yang “transparan terhadap cahaya” mampu menyerap panas dengan sangat kuat. Tyndall juga menyebutkan potensi dampak gas-gas rumah kaca, termasuk karbon dioksida dan metana, terhadap iklim kita.
Dalam konteks sejarah, aktivitas manusia yang meningkatkan kadar karbon dioksida di atmosfer sudah dimulai pada abad ke-19. Pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara dan minyak semakin meningkat, yang berkontribusi pada peningkatan emisi karbon dioksida. Sebuah analisis kuantitatif pertama mengenai perubahan iklim akibat karbon dioksida dilakukan oleh ilmuwan Swedia, Svante Arrhenius, pada tahun 1896. Ia memperkirakan bahwa suhu di wilayah Arktik dapat naik 8 hingga 9 derajat Celsius jika kadar karbon dioksida meningkat 2,5 hingga 3 kali lipat dari level saat itu. Sejak tahun 1900, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer telah meningkat dari sekitar 300 bagian per juta menjadi sekitar 417 bagian per juta.
Ada beberapa poin penting yang perlu dicatat mengenai pemahaman perubahan iklim sejak abad ke-19:
1. Temuan awal mengenai efek gas rumah kaca telah dipahami jauh sebelum populasi global meningkat dan penggunaan bahan bakar fosil mendominasi.
2. Penelitian dari berbagai ilmuwan menyiratkan bahwa meskipun kenaikan suhu awal mungkin dianggap bermanfaat, potensi dampak jangka panjang dari peningkatan emisi karbon dioksida tidak dapat diabaikan.
3. Sejak peringatan dari para ilmuwan kepada Presiden Lyndon Johnson pada tahun 1965 tentang risiko iklim yang tumbuh, bencana terkait perubahan iklim semakin nyata, mulai dari mencairnya es di kutub hingga peningkatan kejadian cuaca ekstrem.
Dalam lima dekade terakhir sejak peringatan tersebut, bukti semakin menunjukkan bahwa emisi yang dihasilkan manusia melalui pembakaran bahan bakar fosil menyebabkan pemanasan iklim yang berbahaya. Hal ini ditandai dengan meningkatnya suhu global, mencairnya es di Greenland dan Antartika, serta naiknya permukaan laut. Namun, respons politik terhadap isu ini seringkali lambat, dengan sebagian pihak masih mempertahankan sikap skeptis terhadap kebenaran ilmiah.
Sangat menarik untuk dicatat bahwa walaupun Eunice Foote dipandang sebagai ilmuwan wanita yang jarang muncul pada masanya, kontribusinya dalam memahami dasar-fundamental ilmu pengetahuan mengenai perubahan iklim sudah ada 165 tahun yang lalu. Cita-cita dan temuan awalnya seharusnya menjadi dorongan bagi generasi saat ini untuk lebih mendengarkan dan bertindak berdasarkan pengetahuan ilmiah yang telah lama ada. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa selama ini kita belum cukup mendengarkan peringatan yang diberikan?