Bisnis

Pengamat: Penagih Pinjol ‘Nakal’ Minim Pengawasan P2P!

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat peningkatan yang mencolok dalam jumlah pengaduan terkait perilaku petugas penagihan pinjaman online (pinjol) pada awal tahun 2025. Sepanjang Januari, tercatat 13.540 pengaduan yang masuk, dengan 7.993 di antaranya berkaitan langsung dengan layanan pinjam meminjam berbasis teknologi. Dari total pengaduan tersebut, sebanyak 1.676 disinyalir berindikasi pelanggaran, di mana 1.107 aduan terkait penagihan yang dilaksanakan oleh petugas dari platform pinjaman online.

Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), mengemukakan bahwa mayoritas pengaduan ini mungkin berasal dari pihak ketiga yang dipekerjakan untuk melakukan penagihan. Meski pihak ketiga diperbolehkan secara hukum untuk menangani penagihan, Huda menekankan bahwa kurangnya pengawasan dari penyelenggara P2P lending menjadi faktor utama pelanggaran yang terjadi. “Saya curiga bahwa penagihan yang dilakukan oleh pihak ketiga ini tidak dalam pengawasan yang ketat dari platformnya,” jelasnya.

Kurangnya pengawasan ini berpotensi membuat praktik penagihan menjadi “nakal” dan bertentangan dengan norma yang berlaku. Huda berpendapat bahwa seharusnya ada regulasi yang menyaratkan pihak ketiga dalam penagihan adalah badan usaha yang terdaftar, bukan individu. “Ini penting agar ada akuntabilitas jelas dalam proses penagihan,” tambahnya.

Ketidakpahaman dari pihak peminjam terkait batasan dalam proses penagihan juga turut menjadi masalah. Huda mencatat bahwa sering kali peminjam merasa tidak mendapatkan informasi yang jelas tentang konsekuensi gagal bayar mereka, sehingga mengadukan tindakan penagihan yang dilakukan. “Jika informasi mengenai gagal bayar sudah benar, tetapi peminjam tidak mengerti aturannya, mereka akan mengadu dan menciptakan masalah baru,” ungkapnya.

Melihat tingginya aduan mengenai pelanggaran etika dalam penagihan pinjaman online, Huda menyatakan bahwa hal tersebut dapat mengurangi kepercayaan masyarakat untuk meminjam melalui platform P2P lending. Hal ini bertentangan dengan tujuan regulasi yang diharapkan dapat meminimalisir pelanggaran etika penagihan. “Hal ini mengindikasikan bahwa masalah ini harus segera ditangani secara serius untuk menjaga kepercayaan publik,” tambahnya.

Salah satu solusi yang diusulkan oleh Huda adalah sertifikasi bagi tenaga penagih. Dalam konteks ini, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) telah melakukan langkah inisiatif dengan melakukan sertifikasi bagi tenaga penagih di antara anggota asosiasi. “Namun, jika pengaduan mengenai etika penagihan masih tinggi, kita harus bertanya apakah penagih yang bersertifikat tersebut sudah menjalankan tugasnya dengan benar,” tegasnya.

Huda memaparkan dua metode utama yang dapat digunakan dalam penagihan pinjaman online, yakni desk collection dan field collection. Desk collection melibatkan penagihan melalui panggilan telepon kepada peminjam yang mengalami gagal bayar, sedangkan field collection merupakan metode langsung di mana penagih mendatangi peminjam tersebut. Keberhasilan kedua metode ini, menurutnya, sangat bergantung pada etika dan prinsip yang diterapkan oleh tenaga penagih masing-masing.

Sebagai penutup, jelas terlihat bahwa pengawasan yang lebih ketat terhadap pihak ketiga yang terlibat dalam penagihan pinjaman online sangat penting. Selain itu, peningkatan transparansi informasi kepada peminjam dan penerapan regulasi yang lebih ketat di bidang ini dapat membantu mengurangi potensi pelanggaran serta mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap industri pinjaman online. Masalah ini perlu disikapi dengan serius oleh seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem fintech agar dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Hendrawan adalah penulis di situs spadanews.id. Spada News adalah portal berita yang menghadirkan berbagai informasi terbaru lintas kategori dengan gaya penyajian yang sederhana, akurat, cepat, dan terpercaya.

Berita Terkait

Back to top button