Pefindo: Risiko Penerbitan Surat Utang Leasing 2023 Mengkhawatirkan

PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) telah memberikan perhatian khusus terhadap risiko yang mungkin dihadapi oleh investor dan pelaku industri terkait dengan penerbitan surat utang dari perusahaan multifinance sepanjang tahun ini. Ahmad Nasrudin, seorang analis tetap dari Pefindo, mengungkapkan bahwa meskipun sektor ini menunjukkan aktivitas positif di pasar surat utang, ada berbagai tantangan yang harus diwaspadai.

Pertama, Ahmad menegaskan bahwa yield dari surat utang mungkin lebih tinggi daripada yang diantisipasi. Ini terjadi akibat tingginya yield benchmark di tengah ketidakpastian ekonomi dan kenaikan premi risiko yang diminta oleh investor untuk mengimbangi eksposur risiko terhadap situasi global, termasuk perang dagang. Kepentingan investor untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi biasanya datang dengan risiko yang lebih besar, dan ini perlu dicermati oleh mereka yang berinvestasi di sektor multifinance.

Kedua, suku bunga yang tinggi juga masih menjadi tantangan utama yang dihadapi sektor ini. Menurut Ahmad, tingginya suku bunga saat ini berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat, yang berpengaruh pada pembelian barang-barang modal yang dibiayai melalui multifinance, seperti sepeda motor dan mobil. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya biaya pinjaman dapat mengurangi kemungkinan konsumen untuk berinvestasi dalam pembelian barang, yang pada gilirannya akan memengaruhi permintaan terhadap jasa pembiayaan.

Ketiga, proyeksi pertumbuhan industri multifinance diperkirakan akan lebih lemah di masa mendatang. Menurut Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), proyeksi pertumbuhan untuk tahun 2024 menurun dari kisaran 8%–10%. Perlambatan pertumbuhan ini akan berdampak langsung pada kebutuhan pendanaan, yang kemungkinan akan lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Sebagai hasilnya, penerbitan surat utang oleh perusahaan-perusahaan di sektor ini dapat lebih sedikit dari yang diperkirakan.

Di samping faktor-faktor internal yang mempengaruhi sektor multifinance, kondisi eksternal seperti perang dagang juga menjadi ancaman serius. Ahmad menambahkan bahwa banyak bisnis yang mendapatkan pembiayaan dari multifinance berisiko terdampak oleh perang dagang, terutama bagi industri yang berorientasi ekspor ke Amerika Serikat seperti tekstil, karet, peralatan listrik, makanan, dan perikanan. Situasi ini bisa berimbas pada permintaan jasa multifinance dan meningkatkan risiko pembiayaan di sektor tersebut.

Walaupun rasio pembiayaan bermasalah atau non-performing finance (NPF) pada Februari 2025 tercatat menurun menjadi 2,87%, Ahmad tetap mengingatkan bahwa khususnya dalam konteks ketidakpastian global, kewaspadaan terhadap potensi peningkatan kredit bermasalah sangat diperlukan. Hal ini mencerminkan pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap risiko kredit untuk memastikan kesehatan keuangan perusahaan-perusahaan dalam sektor multifinance.

Data Pefindo menunjukkan bahwa selama kuartal I tahun 2025, terdapat enam perusahaan multifinance yang telah menerbitkan obligasi dengan total nilai mencapai Rp8,3 triliun. Penerbitan ini terdiri dari obligasi konvensional senilai Rp6,7 triliun dan sukuk sebesar Rp1,6 triliun, yang menjadi catatan penting mengingat pada periode yang sama tahun lalu tidak ada perusahaan multifinance yang menerbitkan obligasi. Secara keseluruhan, pada kuartal I/2025, terdapat 29 perusahaan dari berbagai sektor yang menerbitkan obligasi dengan total nilai Rp46,7 triliun, di mana sektor multifinance menempati posisi ketiga setelah sektor pulp dan kertas serta pertambangan.

Dengan berbagai faktor risiko yang diidentifikasi oleh Pefindo, penting bagi investor dan pelaku industri untuk tetap waspada dan melakukan analisis yang cermat sebelum melakukan investasi di sektor multifinance tahun ini. Pengelolaan risiko menjadi hal yang krusial untuk melindungi investasi dan memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan di tengah tantangan yang ada.

Berita Terkait

Back to top button