
Angka prevalensi perokok di Indonesia menunjukkan perkembangan yang memprihatinkan, dan para pakar mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah hambatan yang menghalangi upaya untuk menekan angka tersebut. Salah satu hambatan utama yang disoroti adalah kurang optimalnya pengurangan risiko tembakau. Tikki Pangestu, seorang pakar kesehatan dan mantan Direktur Penelitian, Kebijakan dan Kerja Sama World Health Organization (WHO), menegaskan bahwa strategi pengurangan risiko tembakau berperan penting dalam mendorong perokok untuk meninggalkan kebiasaan merokok mereka.
Namun, dalam keterangannya pada Senin (14/4/2025), Tikki menambahkan bahwa implementasi strategi tersebut menghadapi banyak tantangan. Pengurangan risiko tembakau berfokus pada pemanfaatan produk-produk alternatif yang dianggap memiliki risiko kesehatan lebih rendah, seperti rokok elektronik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin. Sayangnya, pemakaian produk-produk ini masih minim di Indonesia, padahal riset menyatakan manfaatnya dalam mengurangi risiko kesehatan.
Tikki mencatat bahwa terdapat tiga faktor utama yang menjadi penghambat penerapan pengurangan risiko tembakau di Indonesia dan negara-negara lain, antara lain:
Lobi dari Kelompok Pengendalian Antitembakau: Kelompok-kelompok ini memiliki sumber daya dan pendanaan besar serta menentang penggunaan pendekatan pengurangan risiko. Mereka lebih memilih kebijakan yang berfokus pada pelarangan dan pembatasan, tanpa mempertimbangkan opsi produk tembakau alternatif.
Pengaruh WHO Terhadap Negara Berpenghasilan Menengah ke Bawah: Banyak negara ini cenderung mengikuti arahan WHO yang menolak pendekatan pengurangan risiko. Hal ini menyebabkan mereka kesulitan dalam menilai potensi manfaat produk tembakau alternatif, yang seharusnya bisa menjadi solusi untuk mengedukasi perokok dan membantu mereka beralih ke produk yang lebih aman.
- Misinformasi Tentang Produk Tembakau Alternatif: Maraknya informasi yang keliru tentang produk tembakau alternatif membuat pemerintah dan organisasi kesehatan ragu untuk mengeksplorasi opsi-opsi baru. Salah satu kesalahpahaman umum adalah bahwa seluruh produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang setara dengan rokok biasa.
Melalui penglimpahan informasi yang tidak tepat ini, pandangan negatif terhadap produk alternatif perokok terus berlanjut. Akibatnya, inisiatif untuk mengurangi prevalensi merokok di Indonesia tidak dapat berjalan efektif. Tikki mengungkapkan keprihatinan bahwa jika hambatan-hambatan ini tidak diatasi, Indonesia akan kesulitan mencapai target pengurangan perokok yang lebih signifikan.
Studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa banyak negara yang telah berhasil melaksanakan pendekatan pengurangan risiko tembakau menunjukkan penurunan dalam angka perokok. Strategi tersebut membuka peluang bagi perokok untuk beralih dari rokok konvensional ke produk yang lebih aman, yang sudah terbukti mengurangi risiko kesehatan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan badan kesehatan untuk lebih terbuka dalam mempertimbangkan penelitian dan data terkait produk-produk tembakau alternatif.
Pemerintah Indonesia memiliki tantangan besar di depan dalam hal menanggulangi epidemi merokok yang sedang berlangsung. Memperkuat kebijakan yang mendorong penggunaan produk tembakau alternatif dan memperbaiki kesalahpahaman di kalangan masyarakat akan sangat membantu dalam menurunkan prevalensi merokok.
Dalam konteks tersebut, koordinasi antar pihak, termasuk pemerintah, organisasi kesehatan, dan masyarakat sipil, sangatlah penting untuk memastikan bahwa strategi yang diambil tidak hanya komprehensif, tetapi juga efektif dalam mengurangi prevalensi merokok di Indonesia. Melalui langkah-langkah yang tepat, bukan tidak mungkin bagi Indonesia untuk mencapai penurunan angka perokok yang signifikan dalam waktu dekat.