
Komisi IX DPR RI meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mengajukan alokasi anggaran sebesar Rp9,4 triliun kepada Kementerian Keuangan. Permintaan ini bertujuan untuk memastikan bahwa subsidi bagi peserta mandiri kelas III dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan tidak dicabut. Permasalahan ini muncul setelah adanya keputusan mengenai efisiensi anggaran Kemenkes yang mencapai Rp19,63 triliun berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025.
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia, Edy Wuryanto, mengungkapkan bahwa efisiensi anggaran yang signifikan ini turut mempengaruhi kemampuan Kemenkes dalam membayar subsidi iuran bagi peserta mandiri kelas III yang jumlahnya mencapai Rp2,5 triliun. Jika anggaran subsidi ini tidak segera dialokasikan kembali, potensi pencabutan subsidi bisa terjadi, yang tentu akan menimbulkan reaksi publik yang negatif.
“Bisa dicabut. Betul. Pasti nanti akan menimbulkan kegaduhan publik,” tegas Edy dalam rapat yang berlangsung pada Senin (10/2/2025). Keputusan untuk melakukan efisiensi anggaran ini, meskipun dimaksudkan untuk penataan keuangan negara, dapat mengakibatkan dampak negatif pada layanan kesehatan masyarakat, terutama bagi mereka yang membutuhkan akses ke obat-obatan dan alat kesehatan.
Dampak efisiensi anggaran ini juga dirasakan dalam hal pengadaan obat dan alat kesehatan. Menurut Edy, telah terjadi pengurangan sebesar 50% dalam alokasi untuk pengadaan tersebut, yang membuat banyak apotek di rumah sakit dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) kesulitan menyediakan obat-obatan yang diperlukan. “Akibatnya, peserta BPJS terpaksa membeli obat sendiri, yang merugikan manfaat BPJS bagi peserta,” imbuh Edy. Hal ini dapat memperburuk akses masyarakat terhadap layanan kesehatan, terutama bagi kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.
Tidak hanya itu, keputusan efisiensi anggaran Kemenkes juga berdampak pada anggaran pendidikan tenaga kesehatan, seperti dokter spesialis. Kebutuhan tenaga medis di Indonesia, terutama dokter spesialis, semakin mendesak. Dengan adanya pengurangan anggaran ini, potensi kekurangan dokter spesialis di masa yang akan datang semakin besar, yang dapat mempengaruhi kualitas layanan kesehatan secara keseluruhan.
Edy berpendapat bahwa untuk menghindari berbagai risiko yang mungkin muncul akibat pengurangan anggaran ini, pengajuan alokasi baru yang sebesar Rp9,4 triliun perlu dilakukan. Dalam mekanisme ini, Edy menjelaskan bahwa proses pengajuan alokasi baru harus mendapat persetujuan dari Presiden Prabowo. “Pasti nanti ketika Presiden melakukan rekalkulasi atau rekonstruksi APBN, kalau dia mau menambah anggaran Kemenkes, sudah tidak perlu lagi melalui Komisi IX DPR,” pungkasnya.
Komisi IX DPR RI berkomitmen untuk terus mengawasi dan memastikan bahwa perlindungan kesehatan bagi peserta JKN tidak terhambat oleh masalah anggaran. Dalam upaya ini, mereka berharap Kemenkes dapat segera mengambil langkah proaktif agar subsidi peserta mandiri kelas III tetap terjamin.
Para anggota DPR juga mendorong kolaborasi antara institusi pemerintah, termasuk Kemenkes dan Kementerian Keuangan, untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan terkait pendanaan kesehatan. Dengan begitu, harapan untuk meningkatkan akses layanan kesehatan bagi masyarakat yang memerlukan dapat terus terwujud tanpa terganggu oleh kendala anggaran.