Sebanyak 8.000 orang yang berasal dari komunitas adat di hutan hujan Amazon dan wilayah Pasifik berkumpul di ibu kota Brasil, Brasilia, pada hari Senin untuk menuntut agar mereka mendapatkan suara dan kekuatan yang setara dengan para pemimpin politik dalam konferensi iklim PBB yang akan diadakan di negara tersebut. Para peserta, yang berasal dari sekitar 200 komunitas adat dari kawasan Amerika Latin dan Pasifik, termasuk masyarakat Aborigin Australia, turut serta dalam pertemuan tahunan masyarakat adat di Brasilia.
Dengan mengenakan pakaian tradisional berwarna cerah dan riasan tubuh, mereka menegaskan bahwa pemimpin-pemimpin adat harus diberikan “suara dan kekuasaan yang sama” dengan para pemimpin dunia di konferensi COP30 yang akan berlangsung di kota Belem, Amazon, pada bulan November mendatang. Para pemimpin ini juga mendesak adanya pendanaan langsung untuk perlindungan lingkungan dan proyek yang dapat membantu komunitas adat beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.
Meskipun terpisah oleh lautan luas, masyarakat adat di Amazon dan Oseania berada di garis depan perubahan iklim global, dengan kenaikan permukaan laut mengancam akan menenggelamkan pulau-pulau di Pasifik yang rendah, seperti Fiji. Alisi Rabukawaqa, seorang pemimpin suku dari Fiji, menuturkan, “Di Pasifik, kami memiliki perjuangan unik, tetapi kami juga ingin menunjukkan kepada masyarakat di sini, masyarakat adat di Amazon, bahwa kami bisa melawan.”
Di Amerika Selatan, bencana kekeringan yang melanda tahun lalu telah menciptakan kondisi untuk musim kebakaran hutan yang sangat parah. Di Brasil saja, kebakaran telah menghancurkan hampir 18 juta hektar hutan hujan Amazon, menurut platform pemantauan MapBiomas. Sinesio Trovao, kepala komunitas Betania Mecurane asal Brasil, mengungkapkan pentingnya undangan untuk para pemimpin adat dalam COP30, dengan menyatakan bahwa mereka yang tinggal di desa adalah yang paling memahami tantangan besar yang dihadapi akibat masalah iklim.
Pemerintah Brasil telah mengumumkan pembentukan Lingkaran Kepemimpinan Adat di COP30 untuk memastikan masyarakat adat diberi kesempatan untuk bersuara. Namun, komunitas adat menekankan bahwa keterlibatan mereka harus lebih dari sekadar simbolis. “Kami ingin melihat bagaimana hal ini dapat dilakukan, secara nyata,” tegas Rabukawaqa.
Rangkaian pertemuan selama seminggu di Brasilia, yang diselenggarakan dengan slogan “Kami adalah jawabannya,” akan mencakup aksi unjuk rasa di gedung-gedung pemerintahan. Selasa ini, Kongres Brasil juga akan menggelar sesi khusus mengenai hak-hak masyarakat adat.
Dengan menggelar COP30 di Amazon Brasil, Presiden Luiz Inacio Lula da Silva berusaha menyoroti ancaman eksistensial terhadap hutan hujan terluas di dunia itu. Dalam kunjungannya ke Amazon pekan lalu, ia memuji “peran penting” yang dimainkan oleh masyarakat adat dalam perjuangan melawan perubahan iklim. Meskipun berjanji untuk menghentikan penebangan hutan Amazon secara ilegal, presiden yang berhaluan kiri tersebut mendapat kritik dari aktivis lingkungan karena mendukung proyek eksplorasi minyak besar-besaran di lepas pantai dekat muara Sungai Amazon.
Situasi ini mencerminkan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak suara dan kehadiran mereka di forum internasional. Dalam konteks perubahan iklim yang semakin mendesak, suara dan kekuatan mereka semakin dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran dan tindakan nyata dalam menghadapi krisis lingkungan global. Para pemimpin adat berharap agar dalam konferensi mendatang, mereka dapat berkontribusi secara nyata dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan lingkungan dan masyarakat mereka.