
Crested crane yang memiliki mahkota emas yang mencolok, kantong tenggorokan merah, dan kaki hitam ramping, menjadi simbol ikonik Uganda. Burung ini tidak hanya ditampilkan di bendera dan lambang negara, tetapi juga menjadi julukan bagi semua tim olahraga nasional. Di balik keindahannya, burung ini menghadapi ancaman serius dari kepunahan, sebagaimana yang diungkapkan oleh para konservasionis yang mendesak perlunya tindakan lebih lanjut untuk melindunginya.
Crested crane, yang dilindungi oleh undang-undang Uganda, bisa mendapatkan hukuman penjara seumur hidup dan/atau denda hingga 20 miliar shilling Uganda (sekitar $5 juta) bagi mereka yang membunuhnya. Meski demikian, populasi burung ini telah mengalami penurunan drastis. Pada tahun 1970-an, Uganda memiliki lebih dari 100.000 crested crane, tetapi jumlah tersebut kini tersisa hanya sekitar 10.000 ekor. Ini membuat International Union for Conservation of Nature (IUCN) menempatkan burung ini dalam daftar merah spesies burung yang terancam punah pada tahun 2012.
Beberapa faktor menyumbang penurunan populasi ini, antara lain penurunan habitat. Wetland, yang menjadi rumah bagi burung-burung ini, semakin terdesak oleh aktivitas pertanian. “Dengan meningkatnya populasi manusia dan permintaan pangan yang tinggi, para petani mulai mengolah lahan basah yang seharusnya menjadi tempat tinggal burung-burung ini,” kata Adalbert Ainomucunguzi, yang memimpin International Crane Foundation (ICF) di Afrika Timur.
Dari perspektif petani, crested crane sering dianggap sebagai hama. Mereka menganggap burung ini merusak tanaman mereka, yang menjadi sumber kehidupan mereka. Tom Mucunguzi, seorang petani jagung dari dekat Mbarara, mengungkapkan, “Saya tidak melihat nilai dari burung-burung ini karena mereka hanya merusak kebun kami.” Akibatnya, beberapa petani tidak lagi menghormati larangan pembunuhan burung ini dan beralih ke penggunaan racun sebagai cara untuk mengusir mereka.
Meskipun burung ini dilindungi, banyak petani yang tidak menyadari konsep tersebut dan lebih fokus pada dampak ekonomi dari keberadaan burung ini. Gilbert Tayebwa, seorang petugas konservasi di ICF, mengatakan, “Salah satu ancaman terbesar terhadap crane adalah keracunan oleh para petani.” Bahkan, beberapa burung telah ditemukan mati setelah mengonsumsi tanaman yang disemprot dengan pestisida.
Selain masalah dengan pertanian, crested crane juga menghadapi ancaman lain seperti perusakan habitat dan pemangsa. Tanpa area basah yang aman, anak-anak crested crane lebih rentan terhadap serangan elang. Kenaikan jumlah dan pembangunan infrastruktur, termasuk kabel listrik, juga meningkatkan risiko bagi burung-burung ini.
“Burung ini adalah spesies yang sangat setia, bersatu dalam sepasang untuk hidup,” kata Jimmy Muheebwa, seorang konservasionis, menjelaskan bahwa jika satu dari pasangan ini terbunuh, kemungkinan untuk menemukan pasangan baru sangat kecil. Ritual tradisional yang menganggap bahwa bagian tubuh burung ini membawa keberuntungan juga berkontribusi terhadap penangkapannya.
Namun, ada upaya untuk balik arah keadaan ini. Pemerintah Uganda dan organisasi konservasi sedang merangkul masyarakat untuk mengembalikan kondisi wetland. Presiden Yoweri Museveni telah menetapkan tahun 2025 sebagai tahun konservasi wetland untuk mengatasi masalah ini. Selain itu, ICF juga merekrut pengawas untuk memantau dan melindungi lokasi tempat bersarang burung ini.
Terlepas dari semua upaya ini, Jimmy Muheebwa mengungkapkan bahwa jumlah crested crane masih sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk meningkatkan kesadaran dan konservasi, ancaman terhadap keberadaan burung ini masih sangat serius. Keseimbangan antara kebutuhan pertanian dan pelestarian lingkungan menjadi tantangan besar yang harus dihadapi Uganda dalam melindungi salah satu simbol nasionalnya.