Bisnis

Intel Melambat Usai Lonjakan Rekor, Analis Soroti Hambatan Kesepakatan

Intel mengalami tekanan pada sahamnya yang turun 6% pada hari Rabu, mengakhiri lonjakan besar yang dicapai sebelumnya. Dalam lima hari hingga Selasa, saham Intel mencatatkan kenaikan sebesar 38,5%, merupakan kenaikan terbesar dalam sejarah perusahaan sebagai entitas yang terdaftar di bursa. Penurunan saham ini terjadi setelah analis menyatakan keraguan mengenai adanya potensi kesepakatan dengan TSMC dan Broadcom, yang bisa membagi perusahaan chipset ternama asal AS tersebut.

Kenaikan saham Intel dipicu oleh laporan dari Wall Street Journal yang menyebutkan bahwa TSMC, produsen chip kontrak asal Taiwan, sedang mempertimbangkan untuk menguasai sebagian atau seluruh pabrik semikonduktor Intel, mungkin sebagai bagian dari konsorsium investor. Di saat yang sama, Broadcom juga dilaporkan mempertimbangkan untuk melakukan penawaran terhadap bisnis produk Intel, yang mendesain semikonduktor untuk komputer dan server.

Namun, tidak semua analis sepakat dengan prospek kolaborasi ini. Christopher Danely, analis dari Citi, mencatat bahwa TSMC dan Intel menggunakan proses manufaktur yang berbeda, sehingga tidak terlihat masuk akal bagi TSMC untuk mengambil alih fasilitas manufaktur Intel. Ia menambahkan bahwa perbedaan mendasar antara perangkat lunak, proses, dan metodologi yang digunakan oleh kedua perusahaan akan menambah kompleksitas dalam menjalankan kesepakatan tersebut. “Karyawan yang telah bekerja di Intel selama bertahun-tahun harus belajar dari awal. Ini akan menjadi bencana,” ujar Danely kepada Spada News.

Sejalan dengan itu, regulasi juga bisa menjadi penghalang bagi kesepakatan TSMC-Intel. Analis Wall Street memperingatkan bahwa badan pengatur, termasuk otoritas China, harus menyetujui kesepakatan ini, yang berpotensi menyebabkan masalah antimonopoli. Vivek Arya dari Bank of America menjelaskan bahwa pemerintahan Trump kemungkinan akan skeptis terhadap entitas asing yang sepenuhnya mengambil alih perusahaan ikonik AS.

Intel memang telah lama mendesain dan memproduksi semikonduktor untuk keperluannya sendiri, tetapi pada tahun 2022, mereka membuka bisnis manufakturnya untuk pelanggan eksternal yang dikenal dengan istilah foundry. Sayangnya, analisis menunjukkan bahwa foundry ini belum berhasil menarik pelanggan luar, sementara bisnis produk Intel kehilangan pangsa pasar terhadap pesaing.

Ada beberapa hal yang perlu dicermati terkait dengan potensi akuisisi Intel:

1. TSMC dan Intel memiliki proses pembuatan yang berbeda.
2. Ada kekhawatiran regulasi dari berbagai negara, termasuk China.
3. Tidak ada jaminan bahwa TSMC akan menguntungkan dari membantu pesaingnya.
4. Kesesuaian antara bisnis desain dan manufaktur Intel yang mungkin sulit untuk dipisahkan.
5. Intel menegaskan bahwa proses manufakturnya akan tetap kompetitif dengan TSMC pada akhir tahun 2025.

Para analis juga berpendapat bahwa Intel mungkin tidak sedang dalam posisi yang membutuhkan uang tunai segera. Stacy Rasgon dari Bernstein menegaskan bahwa Intel memiliki jangka waktu beberapa tahun sebelum benar-benar membutuhkan solusi mendesak. Pandangannya ini terutama didukung oleh komitmen Intel untuk menjadikan proses manufakturnya kompetitif.

Sebagai tambahan, Danely menjelaskan bahwa jika Broadcom ingin mengakuisisi bisnis produk Intel, mereka seharusnya membeli seluruh perusahaan, bukan hanya sebagian dari bisnis tersebut. Ia percaya bahwa ada banyak sinergi antara sisi manufaktur dan desain yang menjadikan pemisahan bisnis menjadi tidak efisien.

Keseluruhan perdebatan ini menunjukkan bahwa meski ada potensi pengembangan kemitraan dengan TSMC dan Broadcom, banyak hambatan yang harus diatasi sebelum kesepakatan dapat direalisasikan. Intel, di tengah situasi ini, terus berupaya untuk meningkatkan kinerjanya di industri semikonduktor yang sangat kompetitif.

Hendrawan adalah penulis di situs spadanews.id. Spada News adalah portal berita yang menghadirkan berbagai informasi terbaru lintas kategori dengan gaya penyajian yang sederhana, akurat, cepat, dan terpercaya.

Berita Terkait

Back to top button