Ghana vs Burkina Faso: Mengapa Beberapa Warga Ghana Bergabung dalam Konflik?

Tiga warga Ghana baru-baru ini berbagi cerita dengan BBC mengenai keterlibatan mereka dalam pertempuran di Burkina Faso, yang saat ini tengah dilanda pemberontakan ekstremis Islam. Mereka mengungkapkan bagaimana kekerasan yang tak pandang bulu dan pertumpahan darah telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di wilayah tersebut. Salah satu dari mereka mengungkapkan, "Kami selalu bersama orang-orang yang tewas. Dalam beberapa pertempuran, saya telah melihat 40, 50, atau bahkan 100 orang tewas."

Ketiga pria ini, yang berusia antara 30-an hingga 40-an, telah berulang kali menyeberangi perbatasan antara Ghana dan Burkina Faso yang panjangnya 550 km sejak 2018, dan melakukannya tanpa terdeteksi oleh pihak keamanan. Mereka menegaskan bahwa motivasi utama mereka bukanlah agama, melainkan untuk membela komunitas sipil yang memiliki ikatan keluarga dan etnis yang kuat dengan mereka. Salah satu dari mereka menceritakan penderitaan keluarganya, "Saudara laki-laki saya, istrinya, dan anak-anaknya semua dibunuh oleh tentara Burkina. Rasanya sangat menyakitkan," ungkapnya.

Meskipun ada klaim yang mengarah pada motivasi ideologis, seperti yang dinyatakan oleh salah satu pria bahwa "Jika kamu mati saat berjuang melawan jihad, maka kamu menuju ke surga," pernyataan-pernyataan tersebut tidak seragam. Ketika ditanya tentang keterlibatan mereka dalam serangan terhadap warga sipil, mereka memiliki pandangan yang berbeda. Salah satu menyangkal telah berbuat demikian, sementara yang lain mengakui bahwa mereka terpaksa melakukannya karena dukungan sebagian warga yang pro-militer.

Untuk memahami lebih jauh, beberapa alasan mengapa warga Ghana terlibat dalam konflik di Burkina Faso dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Reaksi Terhadap Kekerasan: Banyak yang tergerak untuk melawan. Sejak mulai terjadinya kekacauan, ada laporan bahwa lebih dari 2 juta orang telah mengungsi dan puluhan ribu lainnya terbunuh akibat kekerasan.

  2. Keterikatan Emosional: Keterikatan keluarga dan etnis yang kuat dengan komunitas di Burkina Faso membuat banyak individu merasa berkewajiban untuk melindungi mereka.

  3. Motivasi Keuangan: Beberapa warga terpesona oleh keuntungan finansial dari pencurian hewan ternak yang dilakukan kelompok jihad, di mana hasil pencurian ini sering dijual di pasar di Ghana.

  4. Perdagangan Senjata: Meningkatnya perdagangan senjata di antara para pelaku di wilayah perbatasan juga memperburuk situasi, dengan laporan bahwa senjata yang diambil dari militer Burkina Faso dijual lintas batas ke Ghana.

Sementara Ghana masih mampu menjaga stabilitas di dalam negerinya, pemerintah melaporkan adanya beberapa insiden terorisme di negara tetangga, Togo dan Pantai Gading. Meski demikian, pernyataan dari kelompok Jama’at Nusrat ul-Islam wa al-Muslimin (JNIM)—salah satu organisasi jihad teraktif di Burkina Faso—menyatakan bahwa mereka tidak berniat untuk menyerang Ghana.

Kekhawatiran akan penyebaran kekerasan semakin meningkat dengan adanya konflik etnis yang berkepanjangan di Bawku, utara Ghana, di mana lebih dari 100 orang diperkirakan telah terbunuh sejak pertikaian semakin memanas. Keadaan tersebut menimbulkan kemungkinan bahwa ekstremis dapat memanfaatkan situasi tersebut untuk memperluas pengaruh mereka.

Sementara para pria yang diwawancarai menyadari potensi ancaman yang lebih luas, ada harapan mereka terhadap langkah-langkah proaktif untuk mengatasi ketegangan ini. Selain itu, mereka menegaskan bahwa kekerasan yang terjadi saat ini lebih berkaitan dengan pencurian dan kekuasaan daripada dengan perjuangan ideologis yang sebenarnya.

Situasi di wilayah Ghanai dan Burkina Faso menunjukkan bahwa meskipun ada dorongan untuk bergabung dalam pertempuran, implikasi jangka panjang dari konflik ini tetap menjadi tantangan besar yang harus dihadapi oleh pemerintah kedua negara dan komunitas internasional.

Exit mobile version