
Google, raksasa teknologi asal Amerika Serikat, menghadapi tantangan besar di awal tahun 2025, ditandai dengan lesunya bisnis cloud dan masalah hukum terkait praktik monopoli. Dalam kuartal IV/2024, kinerja induk usaha Google, Alphabet Inc., meleset dari ekspektasi dengan penjualan yang mencapai sekitar USD 12 miliar, jauh di bawah target yang diperkirakan. Meski laba bersih Alphabet tercatat USD 2,15 per saham, sedikit lebih baik dari estimasi Wall Street sebesar USD 2,13, tetapi itu tidak mampu menutupi kelesuan yang terjadi pada unit bisnis cloudnya.
Berbagai faktor turut berkontribusi terhadap penurunan tersebut. Salah satunya adalah ledakan investasi di kecerdasan buatan (AI) yang membuat banyak startup beralih ke infrastruktur cloud. Namun, dengan meningkatnya permintaan tersebut, pertumbuhan Google Cloud tidak secepat yang diharapkan. Perusahaan-perusahaan yang mulai memasuki pasar AI membutuhkan lebih banyak daya komputasi, tetapi pertumbuhan permintaan ini tidak cukup untuk mendongkrak kinerja Google Cloud yang masih tertinggal dibandingkan pesaingnya, yakni Amazon.com Inc. dan Microsoft Corp.
Para investor pun mulai mendesak Alphabet untuk menunjukkan hasil nyata dari investasi yang dilakukan dalam bidang AI. Dan Morgan, manajer portofolio senior di Synovus Trust, menyatakan bahwa tekanan untuk membuktikan efektivitas investasi ini semakin meningkat. Menurutnya, kemungkinan besar keuntungan dari ledakan AI justru akan lebih banyak mengalir kepada perusahaan-perusahaan yang mengkhususkan diri dalam manufaktur chip daripada kepada raksasa teknologi yang memimpin bidang tersebut, seperti Google.
Di tengah tantangan bisnis cloud, Google juga dihadapkan pada masalah hukum serius. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Indonesia menjatuhkan denda sebesar Rp202,5 miliar kepada Google terkait dugaan praktik monopoli. Denda ini menjadi yang terbesar dalam sejarah KPPU, melampaui denda sebelumnya sebesar Rp170 miliar dalam kasus kartel sapi impor. KPPU menemukan bahwa Google melanggar beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berkaitan dengan penerapan Google Play Billing System antara Juni 2022 hingga Desember 2024.
Dalam putusannya, KPPU menjelaskan bahwa besaran denda ditentukan berdasarkan total penjualan Google di pasar Indonesia. Dengan menggunakan laporan yang diaudit dan diserahkan kepada Komisi Sekuritas serta Bursa Amerika Serikat, denda tersebut diambil dari persentase total penjualan Google yang bersumber dari Google Play Store di Indonesia. Google, melalui pernyataan resmi, menyatakan bahwa mereka merasa KPPU telah keliru dalam mengambil keputusan tersebut dan berencana untuk melakukan banding.
Sementara itu, meskipun iklan pencarian Google memberi kontribusi penjualan sebesar USD 54 miliar yang sedikit lebih tinggi dari perkiraan analis, kegagalan di sektor cloud dapat menjadi penghalang bagi pertumbuhan jangka panjang perusahaan. Pasar kini semakin kompetitif dengan banyaknya perusahaan-perusahaan baru yang muncul, serta tantangan dari regulasi yang semakin ketat terhadap praktik monopoli di sektor teknologi.
Dengan semua tantangan ini, bisnis Google diharapkan dapat beradaptasi untuk menghadapi gelombang perubahan yang datang, dari memasuki inovasi di AI hingga menavigasi peraturan yang berlaku. Keberhasilan mereka dalam merespons isu-isu ini akan menentukan posisi mereka di pasar yang bergerak cepat ini dan memengaruhi prospek jangka panjang perusahaan di tahun-tahun mendatang. KPPU juga akan terus memberikan perhatian pada praktik usaha Google, dan situasi ini menunjukkan bagaimana persaingan di pasar teknologi tidak hanya dipengaruhi oleh inovasi produk, tetapi juga oleh kepatuhan terhadap regulasi yang ada.