AS Berinvestasi Besar di Bitcoin, Mengapa Harga Masih Stagnan?

Pemerintah Amerika Serikat telah menunjukkan komitmennya terhadap Bitcoin dengan meluncurkan Kebijakan Strategis Bitcoin, yang diannouce oleh Presiden Donald Trump. Meskipun langkah ini dianggap sebagai tonggak bersejarah dalam pengakuan Bitcoin sebagai aset bernilai, harga Bitcoin sendiri tampak stagnan dan tak mampu menembus level $85.000. Keberadaan kebijakan pro-crypto ini seharusnya memberikan dorongan bagi harga Bitcoin, namun faktanya menunjukkan hal yang sebaliknya.

Pada acara Crypto Summit pertama di Gedung Putih pada 7 Maret, Tyler Winklevoss, salah satu pendiri Gemini, menyerukan agar Amerika Serikat harus menjadi pemenang dalam dunia crypto. Walau demikian, harga Bitcoin mencatatkan penurunan signifikan. Pada Februari 2025, harga Bitcoin sempat menyentuh angka $99.000, namun pada 10 Maret turun menjadi $77.000, yang merupakan titik terendah dalam periode tersebut. Saat ini, meskipun mengalami pemulihan, harganya masih stagnan di sekitar $84.000.

Ada beberapa alasan mengapa Bitcoin tidak mengalami lonjakan harga yang diharapkan:

  1. Faktor Ekonomi yang Lebih Besar: Situasi ekonomi yang sedang berlangsung, termasuk tarif, inflasi, suku bunga yang meningkat, dan pemutusan hubungan kerja membuat para investor menjadi lebih berhati-hati. Ketika likuiditas menurun, investor biasanya akan menjual aset berisiko seperti Bitcoin meskipun memiliki potensi jangka panjang yang kuat.

  2. Ketidakstabilan Pasar: Banyak investor, terutama mereka yang memiliki Bitcoin sejak harganya berada di $53.000 pada September 2024 dan meloncat hingga $109.000 pada Januari 2025, mulai melakukan pencairan keuntungan, sehingga menambah tekanan jual jangka pendek pada harga.

  3. Pengakuan sebagai Aset Nilai: Meskipun pemerintah kini mengakui Bitcoin sebagai aset bernilai, yang mirip dengan emas digital, implementasi kebijakan ini belum menunjukkan dampak signifikan dalam mendorong permintaan pasar.

Dalam konteks global, negara-negara seperti China, Inggris, Ukraina, dan El Salvador telah aktif mengakumulasi Bitcoin dengan berbagai cara, seperti melalui penyitaan aset atau pembelian strategis. Sementara itu, Rusia menggunakan cryptocurrency untuk melakukan perdagangan minyak, menghindari sanksi-sanksi Barat dengan mengkonversi yuan dan rupee menjadi crypto. Dengan semakin banyaknya negara yang menyimpan Bitcoin, kebutuhan bagi Amerika Serikat untuk mempertahankan posisi kompetitif di kancah internasional semakin mendesak.

Menghadapi persaingan global, beberapa pemain finansial terkemuka telah menggandakan investasi di Bitcoin. Pada 2024, integrasi Lightning Network menjadi salah satu tren utama dalam adopsi Bitcoin yang diramalkan akan terus berkembang. Jaringan ini semakin efisien, menangani lebih banyak transaksi dengan biaya nyaris nol dan menyelesaikan pembayaran dalam waktu kurang dari setengah detik, mempercepat perpindahan aset digital.

Larry Fink, CEO BlackRock, baru-baru ini menyatakan bahwa investor institusional mungkin akan mengalokasikan 2% hingga 5% dari portofolio mereka ke Bitcoin. Ia juga mencatat bahwa cryptocurrency ini semakin berfungsi sebagai lindung nilai terhadap devaluasi mata uang dan ketidakpastian geopolitik. BlackRock bahkan telah menambahkan ETF Bitcoin ke dalam portofolionya, menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap prospek jangka panjang cryptocurrency tersebut.

Meskipun stagnasi harga Bitcoin saat ini dapat dilihat sebagai sinyal kelemahan, kenyataannya adalah hal itu mencerminkan proses penyesuaian sementara di tengah ketidakpastian ekonomi. Dukungan dari pemerintah yang pro-crypto, peningkatan adopsi global, dan penciptaan Cadangan Bitcoin Strategis menunjukkan bahwa masa depan Bitcoin tetap cerah. Seiring dengan adopsi yang semakin meluas dan minat institusional yang terus meningkat, peran Bitcoin dalam ekosistem keuangan diharapkan akan menguat. Dengan demikian, bagi para investor yang memiliki perspektif jangka panjang, situasi ini dapat menjadi peluang yang menguntungkan.

Berita Terkait

Back to top button